MAKALAH PAI (FIKIH MUNAKAHAT): khulu','ila,Lian dan zhihar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang
pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam
perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah
juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan
mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya
yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.
Namun disamping
itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali
didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah
sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi
bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor
intern dan faktro ekstern.
Oleh karena itu
perlu kiranya bagi kita semua sebagai seorang muslim, bagi kami khususnya
(pemakalah) untuk mempelajari, mengerti serta memahami tentang Ila’, Li’an,
Zihar, Khuluk,
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian, dasar hukum dan syarat Khulu’?
b.
Apa pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan
Zhihar?
c.
Bagaimana proses pelaksanaa Khulu’ di
pengadilan?
C.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dan
syarat Khulu’
b.
Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum ‘Ila,
Lian dan Zhihar
c.
Untuk mengetahui proses pelaksanaa Khulu’ di
pengadilan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian,
dasar hukum dan syarat Khulu’
1.
Pengertian Khulu’
Khulu’ yang terdiri
dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara etimologi
berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Khulu’
adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan
memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan dirinya dari
suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.[1] Dihubungkannya
kata khulu’ dengan perkawinan karena dala Al-Qur’an disebutkan suami itu
sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya
dalam surat al-baqarah (2) ayat 187: [2]
هُنَّ لِبَاسٌلَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ
Artinya: mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya
perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan
pakaian itu dari suaminya. Dalam artinya istilah hukum dalam beberapa kitab
fiqh khulu’ diartikan dengan: Putus perkawinan dengan menggunakan
uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau khulu’.
Menurut fuqaha, khulu’ secara
umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh
yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari
ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun
talak. Secara khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari
istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah
(pembebasan).
Khulu’ ialah penyerahan
harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan
diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Dasar pengertian ini adalah
hadits riwayat Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas yang berkata:
Istri Tsabit bin Qais
bin Syammas datang kepada Rasululloh SAW, sambil berkata “Wahai Rasululloh, aku
tidak mencela akhlaq dan agamanya.tapi aku
tak inginmenjadi kafir dari ajaran Islam akibat terus hidup bersama dengannya”.
Rasululloh bersabda “maukah kamu mengembalikan kebunnya (tsabit, suaminya)?, ia
menjawab “ mau”, Rasul bersabda “Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia
satu kali”.
Ulama fiqih berbeda
pendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata khulu’ atau lafadz yang
diambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memilik makna seperti itu.Imam Hanafi mengatakan : “Khulu’ boleh dilakukan dengan
menggunakan redaksi jual beli, misalnya si suami mengatakan kepada istrinya,
“saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian,” lalu istri menjawab, “saya
beli itu”.
Atau si suami
mengatakan kepada istri, “Belilah talak (untukmu) dengan harga sekian”.
lalu si istri mengatakan, “baik, saya terima tawaranmu”. Imam Syafi’I
juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu’ dengan menggunakan
redaksi jual beli.
Untuk maksud yang sama
dengan kata khulu’ itu ulama menggunakan beberapa kata, yaitu: fidhyah,
shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi
jumlah ganti rugi atau iwadh yang dugunakan. Bila ganti rugi untuk
putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu
nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebut
shulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima desebut
fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.
apabila hasrat bercerai
dari istri karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah dinamakan khulu’,
sedangkan bila persetujuan itu oleh suami istri, keduanya hendak bercerai
dinamakan mubara’ah.
2.
Dasar
Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh
mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum tergantung kondisi dan
situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1.
Mubah
Hukumnya
menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah.[3]
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak
nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk
suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia
takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya
ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si
isteri boleh dan sah-sah saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an
dan terdapat pula dalam hadist Nabi:Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya"
2.
Haram.
Khulu'
bisa haram
hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
a)
Apabila si isteri meminta Khulu' kepada
suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya
baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk
mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
Artinya:
" Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS.
Al-Baqarah: 229).
"Tsauban berkata,
Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada
suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga"
(HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
b)
Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak
memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu',
maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak
mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah
salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لاَ يَحِلًّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ
تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوْهُنَّ إِلاَّ أَنْ
يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْراً
Artinya:
" Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi
kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi
mereka kawin Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS.
An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas
lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami
boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3.
Syarat Khulu’
1.
Suami
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’
sebagaimana yang berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah
dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, balig, dan bertindak
atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila
suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang akan
menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaannya
seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya yang menerima
permintaan khulu’ istri adalah walinya.
2.
istri yang di khulu’
Istri yang mengajukan khulu’ kepada
suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
a). Ia adalah
seorang yang berada dalam wilayah si suami.
b). Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak
atas harta/
Khulu’ boleh terjadi
dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan istri. Khulu’
sepeerti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’
seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
3.
adanya uang
tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh.
Tentang iwadh ini ulama berbeda
pendapat. Mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak
boleh ditinggalkan oleh sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya
disatu riwayat dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’
tanpa iwadh. Alasanya adalah bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk
dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana
berlaku dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal
yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.
4.
Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh
suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.
5.
adanya alasan untuk terjadinya khulu’.
Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis
Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri
khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan
dia tidak dapat menegakkan hukum Allah.
B.
Pengertian,
dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar
1.
LIAN
a.
Pengertian Lian
Li’an secara etemologi adalah bermakna
muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasangan suami istri
jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara
keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan
argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah
menodai kesucian istrinya. Sedangkan dasar pijakan dalam persoalan ini adalah
firman Allah yang berbunyi :
Dan apabila ada seorang laki-laki yang sudah
aqil baligh menuduh zina terhadap istrinya, baik tuduhan tersebut bersifat
jelas seperti mengatakan “engkau telah berzina”, atau tidak jelas (kinayah)
seperti mengatakan “wahai orang yang durhaka atau fasiq dan sebagainya”, maka
pernyataan ini berkonsekuensi had bagi si suami. Apabila suami tidak mampu
mendatangkan saksi atau tidak melakukan li’an.
b. Hukum-Hukum
Yang Menimpa Orang Yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau
li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1.
Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw
memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan
menceraikan antara keduanya.”[4]
2.
Keduanya haram
ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah
berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana
mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat
selama-lamanya.”[5]
3.
Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
4.
Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah,
harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
5.
Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli
waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
2. ‘ILA
a. Pengertian
Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan
melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah
bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah
sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan
atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan
islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan
hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman
jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun.
Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi
tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam
bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak
akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak
menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana
sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik
kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda
sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik
dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar
kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau
suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim
berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai
empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada
istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah
SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227.
لِّلَّذِينَ
يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ
اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ
عَلِيمُُ
Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi
tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ),
maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka
berazam ( bertetap hari untuk)talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar
lagi maha mengetahui.
3. ZHIHAR
a. Pengertian
Zihar
Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami
mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau
bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.
Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.[6]
Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.[6]
Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri
dengan perempuan yang diharamkan (mahram) baginya (dengan tujuan mengharamkan
sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena
belum dicerai.
Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam
menghukum atau menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar,
semisal "punggungmu seperti punggung ibuku" demi mengharamkan
isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa dinikahi oleh orang lain
karena belum diceraikan secara resmi.
b. Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu
hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan zihar berarti melakukan
perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan penjelasan yang
gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
1. Haram
menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2. Penzihar wajib membayar
kafarat zihar.[7]
Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali
kepada istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya
apabila dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia
membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar
bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk
kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu
maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia
harus memberi makan kepada 60 orang miskin.
Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.[8]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan
istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal
menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan
mahram suaminya, misalnya suami mengatakan " Anti Alayya Kazahri
Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung saudara
perempuanku.
Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri
dengan mahram suami adalah zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid
Ibnu Ali pada salah satu qaulnya mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya
dengan salah seorang mahramnya yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik
karena nasab atau karena rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram
baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-lamanya.
Jika
seorang istri sudah tidak bisa menemukan jalan untuk hidup bersama suaminya
lalu ia ingin mengajukan khulu’, maka ia harus memiliki alasan-alasan dan
bukti-bukti yang kuat untuk pengajuan khulu’ kepada pengadilan agama. Berikut
prosedur pengajuan khulu’ sebagaimana diatur dalam pasal 148 KHI terdapat
beberapa langkah yaitu:
(1)
seorang istri yang mengajukan perceraian dengan jalan khulu’, menyampaikan
permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya,
disertai alasan-alasannya.
(2) Pengadilan agama selambat-lambat-nya satu
bulan akan memanggil istri dan suaminya untuk mendengarkan keterangan dari
masing-masing suami istri.
(3)
Dalam persidangan tersebut, pengadilan agama memberikan penjelasan tentang
akibat khulu’ dan hakim akan memberikan nasihat-nasihat kepada suami istri.
(4)
Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl (tebusan) maka
pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan ini
maka tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5)
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan
tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi
bekas suami dan istri, dibuat rangkap empat, yang terdiri dari: (a) Helai
pertama: beserta surat ikrar talak dikirimkan untuk pegawai pencatat nikah. (b)
Helai kedua dan ketiga: masing-masing diberikan kepada suami-istri. (c) Helai
keempat: disimpan oleh pengadilan agama.
(6)
Ketika tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan dalam permohonan
khulu’ ini maka pengadilan agama memeriksa dan memutuskannya sebagai perkara
biasa. Dalam KHI pasal 161 menyebutkan bahwa perceraian dengan jalan
khulu’ mengurangi jumlah bilangan talak dan tidak dapat dirujuk.
Untuk
pengajuan khulu’, jumhur ulama telah bersepakat bahwasanya khulu’ bisa
dilakukan oleh wali perempuan (ayah istri) jika si anak perempuannya tersebut
tidak cakap (idiot, bodoh), namun prioritas pengajuan khulu’ berada dipihak istri
dan jika pihak istri tidak bisa mengajukan gugatan cerai karena kondisinya
dikekang atau ditekan oleh pihak suami maka pihak wali istri berhak atas anak
perempuannya. Hak wali untuk melakukan gugat cerai atas anaknya ini
diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan untuk menikahkannya. Demikian halnya
dengan perempuan hamba sahaya di masa jahiliyah, dimana khulu’ atas dirinya
diserahkan kepada pemiliknya (tuan yang menguasainya). Al-Jaziry menegaskan
bahwa syarat terpenting bagi istri yang bisa mengajukan khulu’ adalah berakal,
mukallaf dan cerdik, sehingga anak kecil, orang gila dan orang safih (idiot)
tidak sah melakukan khulu’ terhadap suaminya.
Perwalian
istri dalam khulu’ berlaku sama dalam pernikahan sehingga ada beberapa pendapat
ulama dalam perwalian untuk istri (anak perempuan), yaitu menurut Hambali dan
Maliki wali pertama adalah ayah, kemudian orang yang menerima wasiat dari ayah
dan jika ayah tidak punya orang yang diwasiati maka perwalian jatuh ke tangan
hakim Syar’i. Kakek tidak memiliki hak perwalian karena kakek tidak memiliki
posisi ayah. Hanafi berpendapat bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang
menerima wasiat dari ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian orang yang
menerima wasiat darinya dan jika tidak ada maka perwalian jatuh ke Qadhi.
Syafii berpendapat bahwa perwalian beralih dari ayah ke kakek, dari kakek
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat kakek,
lalu kepada Qadhi. Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki
posisi yang sama dalam perwalian selama mereka bisa melaksanakan kewajibannya,
dan jika di antara keduanya berebut untuk menjadi wali maka kakek lah yang
didahulukan. Urutan perwalian ini menjadi sangat penting untuk dirunut
dan ditelusuri jika istri sulit untuk melakukan dan mendapatkan wali untuk
melakukan khulu’ kepada suaminya karena adanya kejahatan yang kemungkinan
dilakukan oleh suami kepada istrinya (yang meminta khulu’).
Adapun
khulu’ seorang perempuan yang cacat (difable) maka ia bisa menggunakan
cara sesuai dengan kemampuannya semisal perempuan yang bisu yang ingin
berkhulu’ maka ia dapat melakukan khulu’ dengan isyarat ataupun dengan tulisan.
Hal terpenting dalam khulu’ adalah bahwa syarat-syarat khulu’ sebagaimana
tersebut di atas terpenuhi dan pesan si istri untuk khulu’ bisa tersampaikan
dan pihak suami bisa menerima maksud istri untuk berkhulu’. Demikian pula
dengan jenis kecacatan lainnya maka istri bisa meminta bantuan hakim atau bisa
pula diserahkan kepada walinya untuk menyampaikan maksud istri untuk berkhulu’
kepada suaminya jika rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan. Apabila
seorang istri baru mengetahui bahwa suaminya mempunyai penyakit kelamin atau
sejenisnya maka istri dapat menjatuhkan khulu’ dan suamipun harus mengerti apa
yang diiginkan oleh istri.
Lantas bagaimana hukum khulu’ bagi istri yang
akan meninggal (maradh al-maut/sekarat)? Maka dalam
keadaan seperti ini sebagian besar Ulama berpendapat bahwa khulu’ dalam keadaan
demiakian adalah sah dan istri meninggal dalam masa iddah. Menurut Hanafi dalam
kondisi demikian suami akan mendapatkan (1) jumlah iwadl yang disepakati
bersama (2) sepertiga harta warisan istri dan (3) hartanya sendiri (suami)
selama berumah tangga dengan istri. Jumhur ulama, di antaranya Maliki, Syafi’i,
Ibnu Rusy dan Ibnu Nafi’ berpendapat bahwa dalam kondisi demikian suami hanya
mendapatkan harta warisan sepertiga dari harta waris istri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu : Khulu’ adalah
perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti
sebagai tebusannya. Li’an adalah kalimat tertentu yang dijadikan
argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah
menodai kesucian istrinya. Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan
melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah
takkan menyetubuhi istri Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti
punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya
Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku,
berarti si suami telah menzihar istrinya.
B.
Saran
Didalam
pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin
tidak disadari oleh penulis. Dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca, jika
menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini, maka penulis berharap
pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak
lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang
lebih baik.
[1] Slamet Abidin dan
Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 86.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006,
hl. 231.
[4] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no:
5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494.
[5] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul
Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410.
[6]
Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul
Ma’bud VI: 339 no: 2235.
[7] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat : hal 154
[8] Ibid……..155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar