Senin, 23 November 2015

MAKALAH PAI (FIKIH MUNAKAHAT): khulu','ila,Lian dan zhihar

MAKALAH PAI (FIKIH MUNAKAHAT): khulu','ila,Lian dan zhihar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.
Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan faktro ekstern.
Oleh karena itu perlu kiranya bagi kita semua sebagai seorang muslim, bagi kami khususnya (pemakalah) untuk mempelajari, mengerti serta memahami tentang Ila’, Li’an, Zihar, Khuluk,

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian, dasar hukum dan syarat Khulu’?
b.      Apa pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar?
c.       Bagaimana proses pelaksanaa Khulu’ di pengadilan?

C.    Tujuan
a.       Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dan syarat Khulu’
b.      Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar
c.       Untuk mengetahui proses pelaksanaa Khulu’ di pengadilan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, dasar hukum dan syarat Khulu’
1.       Pengertian Khulu’
Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Khulu’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.[1] Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena dala Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat al-baqarah (2) ayat 187: [2]
هُنَّ لِبَاسٌلَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ
Artinya: mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam artinya istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh khulu’ diartikan dengan: Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau khulu’.
Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan).
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Dasar pengertian ini adalah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas yang berkata:
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasululloh SAW, sambil berkata “Wahai Rasululloh, aku tidak mencela akhlaq dan agamanya.tapi aku tak inginmenjadi kafir dari ajaran Islam akibat terus hidup bersama dengannya”. Rasululloh bersabda “maukah kamu mengembalikan kebunnya (tsabit, suaminya)?, ia menjawab “ mau”, Rasul bersabda “Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali”.

Ulama fiqih berbeda pendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata khulu’ atau lafadz yang diambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memilik makna seperti itu.Imam Hanafi mengatakan : “Khulu’ boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi jual beli, misalnya si suami mengatakan kepada istrinya, “saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian,” lalu istri menjawab, “saya beli itu”.
Atau si suami mengatakan kepada istri, “Belilah talak (untukmu) dengan harga sekian”. lalu si istri mengatakan, “baik, saya terima tawaranmu”. Imam Syafi’I juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu’ dengan menggunakan redaksi jual beli.
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu ulama menggunakan beberapa kata, yaitu: fidhyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang dugunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebut shulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima desebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.
apabila hasrat bercerai dari istri karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah dinamakan khulu’, sedangkan bila persetujuan itu oleh suami istri, keduanya hendak bercerai dinamakan mubara’ah.

2.       Dasar Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1.       Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah.[3] Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam hadist Nabi:Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya"

2.       Haram.
Khulu'  bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
a)      Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

"Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

b)      Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ يَحِلًّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوْهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْراً

Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.

3.      Syarat Khulu’
1.      Suami
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, balig, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaannya seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.

2.       istri yang di khulu’
Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
a). Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
b).  Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta/
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan istri. Khulu’ sepeerti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.

3.      adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh.
Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya disatu riwayat dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya adalah bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.

4.      Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.

5.       adanya alasan untuk terjadinya khulu’.
Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah.

B.     Pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar
1.      LIAN
a.        Pengertian Lian
Li’an secara etemologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasangan suami istri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya. Sedangkan dasar pijakan dalam persoalan ini adalah firman Allah yang berbunyi :
Dan apabila ada seorang laki-laki yang sudah aqil baligh menuduh zina terhadap istrinya, baik tuduhan tersebut bersifat jelas seperti mengatakan “engkau telah berzina”, atau tidak jelas (kinayah) seperti mengatakan “wahai orang yang durhaka atau fasiq dan sebagainya”, maka pernyataan ini berkonsekuensi had bagi si suami. Apabila suami tidak mampu mendatangkan saksi atau tidak melakukan li’an.

b.      Hukum-Hukum Yang Menimpa Orang Yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1.      Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”[4]
2.        Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”[5]
3.      Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
4.       Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
5.      Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.

2. ‘ILA
a. Pengertian Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
    Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227.

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
     Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk)talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.




3.  ZHIHAR
a.  Pengertian Zihar
        Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.
          Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.[6]
Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (mahram) baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
            Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.

b. Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
1.         Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2.         Penzihar wajib membayar kafarat zihar.[7]
             Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.

           Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.[8]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan mahram suaminya, misalnya suami mengatakan " Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung saudara perempuanku.
Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan mahram suami adalah zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang mahramnya yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-lamanya.

C.    Proses pelaksanaa Khulu’ di pengadilan agama[9]
Jika seorang istri sudah tidak bisa menemukan jalan untuk hidup bersama suaminya lalu ia ingin mengajukan khulu’, maka ia harus memiliki alasan-alasan dan bukti-bukti yang kuat untuk pengajuan khulu’ kepada pengadilan agama. Berikut prosedur pengajuan khulu’ sebagaimana diatur dalam pasal 148 KHI terdapat beberapa langkah yaitu:
(1) seorang istri yang mengajukan perceraian dengan jalan khulu’, menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, disertai alasan-alasannya.
 (2) Pengadilan agama selambat-lambat-nya satu bulan akan memanggil istri dan suaminya untuk mendengarkan keterangan dari masing-masing suami istri.
(3) Dalam persidangan tersebut, pengadilan agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu’ dan hakim akan memberikan nasihat-nasihat kepada suami istri.
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl (tebusan) maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan ini maka tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri, dibuat rangkap empat, yang terdiri dari:  (a) Helai pertama: beserta surat ikrar talak dikirimkan untuk pegawai pencatat nikah. (b) Helai kedua dan ketiga: masing-masing diberikan kepada suami-istri. (c) Helai keempat: disimpan oleh pengadilan agama.
(6) Ketika tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan dalam permohonan khulu’ ini maka pengadilan agama memeriksa dan memutuskannya sebagai perkara biasa.  Dalam KHI pasal 161 menyebutkan bahwa perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah bilangan talak dan tidak dapat dirujuk.
Untuk pengajuan khulu’, jumhur ulama telah bersepakat bahwasanya khulu’ bisa dilakukan oleh wali perempuan (ayah istri) jika si anak perempuannya tersebut tidak cakap (idiot, bodoh), namun prioritas pengajuan khulu’ berada dipihak istri dan jika pihak istri tidak bisa mengajukan gugatan cerai karena kondisinya dikekang atau ditekan oleh pihak suami maka pihak wali istri berhak atas anak perempuannya. Hak wali untuk melakukan gugat cerai atas anaknya ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan untuk menikahkannya. Demikian halnya dengan perempuan hamba sahaya di masa jahiliyah, dimana khulu’ atas dirinya diserahkan kepada pemiliknya (tuan yang menguasainya). Al-Jaziry menegaskan bahwa syarat terpenting bagi istri yang bisa mengajukan khulu’ adalah berakal, mukallaf dan cerdik, sehingga anak kecil, orang gila dan orang safih (idiot) tidak sah melakukan khulu’ terhadap suaminya.
Perwalian istri dalam khulu’ berlaku sama dalam pernikahan sehingga ada beberapa pendapat ulama dalam perwalian untuk istri (anak perempuan), yaitu menurut Hambali dan Maliki wali pertama adalah ayah, kemudian orang yang menerima wasiat dari ayah dan jika ayah tidak punya orang yang diwasiati maka perwalian jatuh ke tangan hakim Syar’i. Kakek tidak memiliki hak perwalian karena kakek tidak memiliki posisi ayah. Hanafi berpendapat bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian orang yang menerima wasiat darinya dan jika tidak ada maka perwalian jatuh ke Qadhi. Syafii berpendapat bahwa perwalian beralih dari ayah ke kakek, dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat kakek, lalu kepada Qadhi. Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki posisi yang sama dalam perwalian selama mereka bisa melaksanakan kewajibannya, dan jika di antara keduanya berebut untuk menjadi wali maka kakek lah yang didahulukan.  Urutan perwalian ini menjadi sangat penting untuk dirunut dan ditelusuri jika istri sulit untuk melakukan dan mendapatkan wali untuk melakukan khulu’ kepada suaminya karena adanya kejahatan yang kemungkinan dilakukan oleh suami kepada istrinya (yang meminta khulu’).
Adapun khulu’ seorang perempuan yang cacat (difable) maka ia bisa menggunakan cara sesuai dengan kemampuannya semisal perempuan yang bisu yang ingin berkhulu’ maka ia dapat melakukan khulu’ dengan isyarat ataupun dengan tulisan. Hal terpenting dalam khulu’ adalah bahwa syarat-syarat khulu’ sebagaimana tersebut di atas terpenuhi dan pesan si istri untuk khulu’ bisa tersampaikan dan pihak suami bisa menerima maksud istri untuk berkhulu’. Demikian pula dengan jenis kecacatan lainnya maka istri bisa meminta bantuan hakim atau bisa pula diserahkan kepada walinya untuk menyampaikan maksud istri untuk berkhulu’ kepada suaminya jika rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan. Apabila seorang istri baru mengetahui bahwa suaminya mempunyai penyakit kelamin atau sejenisnya maka istri dapat menjatuhkan khulu’ dan suamipun harus mengerti apa yang diiginkan oleh istri.
Lantas bagaimana hukum khulu’ bagi istri yang akan meninggal (maradh al-maut/sekarat)? Maka dalam keadaan seperti ini sebagian besar Ulama berpendapat bahwa khulu’ dalam keadaan demiakian adalah sah dan istri meninggal dalam masa iddah. Menurut Hanafi dalam kondisi demikian suami akan mendapatkan (1) jumlah iwadl yang disepakati bersama (2) sepertiga harta warisan istri dan (3) hartanya sendiri (suami) selama berumah tangga dengan istri. Jumhur ulama, di antaranya Maliki, Syafi’i, Ibnu Rusy dan Ibnu Nafi’ berpendapat bahwa dalam kondisi demikian suami hanya mendapatkan harta warisan sepertiga dari harta waris istri. 









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu : Khulu’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Li’an adalah kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya. Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri  Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.

B.     Saran
Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini, maka penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang lebih baik.





[1] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 86.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hl. 231.

[3] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 232
[4] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494.
[5] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410.
[6] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235.
[7] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat : hal 154
[8] Ibid……..155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar